Halaman

Rabu, 12 Oktober 2005

Danke World Press Photo

Minggu lalu saya dapat kesempatan mengunjungi Amsterdam dalam rangka workshop tentang foto editing untuk foto editor dan art director koran. Acaranya lumayan padat dan sangat berharga. Foto-foto bisa dilihat disini.

Sebelum ke Amsterdam saya sengaja transit beberapa jam di Singapura untuk berkunjung ke The Straits Times, di sana saya bertemu dengan Christian Dizon, infographer 'gila'. Saya diajak berkeliling kantornya yang mewah dan dijelaskan alur kerja mereka, juga beberapa tips untuk membuat desain dan infografis yang meledak. Thanks, Chris!

Di Amsterdam saya bertemu dengan orang-orang hebat di balik koran mereka, Hsiao Lan Yi (Southern Metropolis Daily, Cina), Zultan Jazul (Newsbreak, Filipina), Asano Tetsuji (The Asahi Shimbun, Jepang), Stephanie Yeow (The Straits Times, Singapura), Liv Olsen (Politiken, Denmark), Frank (De Volkskrant, Belanda), dan Kinga (Gazeta Wiborzya, Polandia). Kami semua mempresentasikan kerja kami yang berhubungan dengan foto di koran masing-masing. Ini bahan presentasi saya: klik

Selain itu, dua orang pakar juga mengisi workshop itu. Maria Mann dari Amerika yang banyak bicara soal leteratur visual, dan Stephen Mayes dari Inggris yang bicara soal manipulasi digital.

Sebetulnya acara itu sebagai pendukung peringatan 50 tahun World Press Photo, selain workshop dan pesta, rangkaian peringatan ulang tahun itu juga diisi diskusi 2 hari dan peluncuran sebuah buku. Berikut laporan saya soal perayaan itu yang dimuat di Koran Tempo, Selasa, 11 Oktober 2005 (Selama hampir 5 tahun bekerja di Koran Tempo, baru kali ini tulisan saya dimuat disana):

50 Tahun World Press Photo
Ancaman dari Citizen Journalism

Amsterdam - Saat ini informasi bukanlah barang langka. Setiap orang bisa memberikan atau mendapatkannya. Mereka berbondong-bondong membuat weblog yang di antaranya berisi berita atau foto berita dari berbagai wilayah yang tidak terjangkau wartawan profesional. Selain memberi informasi, para bloger itu juga dapat mengawasi media mainstream dan mewakili arus bawah.

Blog bukan satu-satunya alat yang digunakan pers rakyat. Kamera digital atau telepon genggam berkamera juga menjadi senjata ampuh mereka. Tidak jarang para editor foto terpaksa memilih foto-foto karya pers rakyat dibanding foto-foto karya fotografer berkamera canggih. Beberapa surat kabar memuat hasil jepretan telepon genggam berkamera saat memberitakan berita pengeboman di London.

Segala kelebihan pers rakyat ini memang sangat potensial untuk dimanfaatkan, walaupun kredibilitas dan mutunya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal itulah yang dibahas ulang tahun World Press Photo 2005 di Amsterdam, Jumat (7/10) dan Sabtu (8/10). Bahkan secara khusus Shahidul Alam, fotografer dan pendiri Dirk Picture Library, Bangladesh, memberikan makalah dengan judul "Publishing from the Street: Citizen Journalism". Pada kesimpulannya dia menekankan kepada jurnalis profesional agar tidak serta-merta tergoda bisikan dari cyberspace.

Sementara itu, Christian Caujole, Art Director Agence and Gallerie Vu, yang dalam rangka ulang tahun World Press Photo ke-50 ini menerbitkan buku Things As They Are, juga memberikan tanggapan soal pers rakyat. Dia menganggap Internet hanya sebagai alat penyebaran informasi, banyak aspek yang membuatnya tidak dapat mengungguli media mainstream.

Pada rangkaian peringatan ulang tahun ini juga diadakan workshop tentang foto editing dengan peserta para editor foto dan art director dari delapan negara di Asia dan Eropa: Indonesia, Singapura, Cina, Filipina, Belanda, Polandia, dan Denmark. Acara ini disponsori oleh Asia-Europe Foundation. Selain presentasi dari masing-masing peserta, workshop juga diisi oleh pakar yang membahas manipulasi digital dan literatur visual. eko punto pambudi

Rabu, 13 Juli 2005

Logika Waktu Pendek Media

Tanpa kemasan kebaruan, aktualitas yang spektakuler, dan presentasi yang ringkas, media bisa ditinggal pelanggannya. Semua ini adalah demi efektivitas, rasionalitas, dan keuntungan. Bahayanya, bisa kehilangan tujuan karena teknik ingin mengalahkan semua nilai.

Selengkapnya... (Opini di Kompas)

Sabtu, 09 Juli 2005

7/7

Pengarang Le Petit Prince emang gak salah. Di novel itu dia bilang: orang dewasa sangat menyukai angka.
Ketika orang-orang dewasa diceritakan tentang seseorang, mereka tidak pernah bertanya hal-hal penting seperti: Kayak apa suaranya, atau mainan favoritnya, atau tentang koleksi kupu-kupunya. Mereka malah nanya berapa umurnya? berapa banyak saudaranya? berapa berat badannya, atau berapa penghasilan ayahnya.
Waktu tragedi WTC, koran-koran (yang emang ditulis dan dibaca oleh orang dewasa) suka sekali menuliskan angka 9/11. Trus pas terjadi pengeboman 3 stasiun bawah tanah dan sebuah double deck di Inggris ini mereka buru-buru menamainya sebagai teror 7/7. (Baca beritanya)

Alasan yang masuk akal kenapa para orang dewasa suka menggunakan angka adalah supaya mereka mudah mengingat-ingat. Dengan 9/11 orang dewasa akan langung ingat kejadiannya tanggal 11 September, begitu juga dengan 7/7.

Tanggal berapa tabrakan besar kereta yang menewaskan ratusan orang di Bintaro? Banyak orang dewasa yang bisa menjawabnya: 19 Oktober. Itu berkat Iwan Fals yang memberi judul lagu tentang tragedi itu dengan "1910".

Selain menggunakan angka 7/7, ada juga koran-koran yang mendeskripsikan drama pengeboman itu langsung di judulnya (seperti dikutip dari AFP - thx to buzet):
  • "A chaotic mix of fear, smoke and darkness" (my fav) - International Herald Tribune
  • "Terror comes to London" - The Independent, Inggris
  • "Carnage in London" - France Soir, Prancis
  • "Terror comes ever closer" - Bild, Jerman
  • "Second wave of terrorism in Europe" - Kathimerini, Yunani
  • "Terrorists strike again" - Gazeta Wyborcza, Polandia
  • "'An attack on all nations'" - South China Morning Post, Hong Kong
  • "Day the emergency planners hoped would never come" - New Zealand Herald
  • "Apocalypse London" - The News, Pakistan
  • "Terror strikes London" - The Nation, Thailand
  • "Murder in London" - The Washington Post, United States
  • "An odious attack" - Business Day, South Africa
  • "London horror" - The Star, South Africa
  • "Heart of London struck" - Le Renouveau, Tunisia

Malah ada juga yang langsung menuding
  • "Al-Qaeda punishes London" - Le Parisien, Prancis
  • "Al-Qaeda brings terror to the heart of London" - The Daily Telegraph

Kita maklum kalo mereka marah:
  • "If the terrorists want a fight, by God, we'll give it them" - The Sun
  • "Bastards" - Daily Stars

Kebayang gak apa kata Daily Prophet:
  • "Voldemort attacks muggles"

Jumat, 01 Juli 2005

Seputar Indonesia

As Seen on Blog sebelah:

Soal isi, tekstual maupun visual, secara selintas saya belum begitu terkesan. Pendekatan berita dan gaya bahasanya tak langsung menyajikan perbedaan mencolok -- kecuali dua serial fitur di halaman satu dianggap sebagai pembeda. Katakanlah tak seperti Republika dan Koran Tempo saat nongol. Saya merasa masih membaca sebuah city paper. Memang sih redaksinya menyatakan ingin menyajikan gaya "yang lugas namun ramah". Tapi grafisnya terasa sesak. Rasanya padat tapi bikin capek... Selengkapnya

Selasa, 28 Juni 2005

Kompas Redesign

Tukang koran (betulan) yang biasanya jam 5 lewat sedikit udah ngelempar Kompas ke teras, hari ini terlambat 1 jam... Yang pertama keliatan dari Kompas baru adalah white space vertikal yang membatasi navigasi kiri dengan berita-berita di kanan pada halaman depan.

Menurut Mario Garcia dari Garcia Media yang me-redesign Kompas (bayarnya berapa ya?), navigasi ini penting untuk memandu pembaca menemukan berita-berita dan tulisan penting (di dalam seksi bersangkutan).

White space tadi sudah menjawab keraguan, ternyata Kompas bisa lepas dari ciri konvensionalnya. Trus yang juga baru adalah adanya semacam upperdeck berwarna merah di bagian atas setiap judul (kecuali judul headline), mereka menyebutnya sebagai 'kata kunci', bahkan kata kunci ini terdapat juga di tulisan feature seperti pada rubrik "Kota Kita" (Metropolitan, halaman 25). Fungsi 'kata kunci' ini seperti upperdeck: menerangkan tentang apa berita itu.

Logo Kompas yang menjadi biru itu malah tidak saya disadari, mungkin karena bentuknya yang masih sama dengan yang lama. Kenapa dibuat biru? Menurut mereka warna biru dirasakan paling tepat untuk merepresentasikan semangat Kompas baru yang lebih dinamis dan elegan (Panduan Membaca Kompas, Halaman 38). Ngomongin warna, tiap halaman Kompas baru ini berwarna!


Foto dicuri dari blog Ardita, Kompas gak upload ke newseum hari ini

Kesan well-organized juga terasa, salah satunya karena setiap berita dipisahkan dengan berita lainnya oleh single-line tipis vertikal dan double-line horisontal, setiap berita! Dan gak tau kenapa, kecelakaan yang diakibatkan karena tidak kompaknya ukuran kolom iklan dan kolom berita justru membuat white space tersendiri yang bikin halaman jadi lebih enak dilihat, selain karena mereka juga menambah jarak dan memberi garis di antara berita dan iklan.

Navigasi tidak hanya terdapat pada halaman-halaman depan, tapi juga ada di tubuh berita yang punya berita terkait di halaman lain. Selain itu, di beberapa berita juga terdapat kutipan yang di-highlight.

Di beberapa halaman dalam ditemui berita-berita pendek yang dikelompokkan dalam berita sekilas, adanya di sebelah kiri, dibatasi white space dan garis tipis vertikal, sistemnya lumayan terbaca walaupun ukuran kolom dan tingginya gak seragam.

Teruss... setiap foto utama diberi judul caption yang diletakkan di atas foto, dipisahkan dari anak captionnya, tapi di beberapa halaman tidak konsisten, gak ada judulnya. Ketidak konsistenann lainnya: beberapa berita headline menempatkan nama penulisnya di bawah pengantar, sebelum berita, tapi pada berita headline lainnya nama penulis tetap berada di akhir cerita, kurang pede?

Pada halaman 38, infografis 'Panduan Memahami Kompas' ada keterangan di bawah logo Kompas akan ada banner (istilah mereka balkon) yang mungkin akan memuat indeks berita, tapi pada edisi perdana balkon itu tidak ada. Kita tunggu besok!

Pada redesign kali ini mereka juga mencoba gaya penulisan yang lebih padat (concise), artinya lebih pendek ya? Buat saya ini sebuah prestasi buat Kompas yang biasanya 'hobi' nulis dan bikin pembaca seperti saya udah kenyang duluan sebelum sempat membaca. Hal ini sangat keliatan pada dua buah 'Tajuk Rencana' mereka yang ringkas dan dengan 'enteng'. saya baca. Surat pembacanya juga lebih digarap, dengan meng-highlight salah satunya.

Rencananya setiap hari Kompas terbit dengan empat seksi (mereka berjanji menerbitkan minilal 48 halaman setiap hari):

1 Seksi Umum
Politik & Hukum, Opini, Internasional, Humaniora, sambungan dari halaman depan, dan Sosok di halaman belakang, ada Mario Garcia-nya hari ini! (saya tidak menemukan 'Kilasan Kawat Dunia' lagi di halaman belakang)

2 Seksi Bisnis dan Keuangan
Kenyataannya bagian ini juga berisi tiga rubrik lain yang harus rela berada di bawah bendera 'Bisnis dan Keuangan'. Ketiga rubrik itu adalah 'Metropolitan', 'Nusantara', dan 'Olahraga'. Tapi 'Olahraga' lebih beruntung sedikit karena ia dapat backcover sebagai kepala rubriknya.

3 Teropong/Fokus
Ini seksi Kompas yang jarang saya buka, isinya mungkin menarik, tapi sori mas gak punya waktu, tulisannya panjang banget!. Semoga setelah redesain ini seksi 'Teropong' lebih ramah pada pembaca seperti saya. Tapi seksi Teropong hari ini 'gue banget', karena ada satu halaman berisi infografis 'Panduan Membaca Kompas' (halaman 38).

4 Seksi Iklan
Seksi ini khusus berisi iklan, digarap dengan serius, ada indeksnya segala. Bahkan mereka mengklasifikasikannya dengan warna yang berbeda untuk masing-masing jenis iklan. Pernikahan (oranye), Otomotif (biru), Properti (hijau), Ragam (merah), Karier (ungu), dan Pemberitahuan (hitam)

Itulah Kompas hari ini. White space, upperdeck, navigasi, kutipan, dan beberapa pernik di Kompas baru memang bukan hal baru bagi koran di Indonesia, Berita Buana dan Republika sudah bermain-main dengan itu sejak 1990-an tanpa bantuan Mario Garcia :-), tapi menurut saya ini tetap sebuah prestasi bagi Kompas untuk berani berubah. Gak percuma bayar konsultan, gak percuma ditungguin sampe satu jam, gak percuma penasaran sama iklannya sejak 3 minggu ini. It's worth. (Coming soon: perbandingan Berita Buana 1990-an dengan Kompas baru).

BTW baca Kompas hari ini seperti baca blog Tukang Koran versi cetak :-p, gak percaya? follow the links!

Sabtu, 18 Juni 2005

Taktik Poskota

Penasaran soal versi ganda Poskota, saya mengirim e-mail ke Pak Eko (Gunawan Eko Prabowo), Wapemred Poskota. Ini replay dari beliau:

Kami emang lagi coba-2 format compact. Background yang paling jadi pertimbangan antara lain soal complain pembaca yang bilang berita Pos Kota (broadsheet) kelewat dikit. Istilah mereka, 'dimakan' iklan baris.

Ini memang ironis karena di sisi lain, banyak orang bilang kekuatan Pos Kota ada di iklan eceran motor, mobil, rumah kost, dan sejenisnya.

Complain itu makin kenceng suaranya ketika Pos Kota naik harga dari Rp 1000,- jadi Rp 1500,- Maklum Mas, selisih harga gopek buat pembaca Pos Kota rupanya sangat terasa. Padahal dengan naik harga, keuntungan bersih buat pengecer dari Rp 300,- ikut naik jadi Rp 500,- Tapi mereka tetap gak bisa berbuat apa-apa kalau pembeli ngerasa berat.
Untuk mengakomodasi mereka yang mau baca berita tapi duitnya pas-pasan, akhirnya kami terbitkan versi tabloid (compact). Dan itu sebabnya di koran tabloid gak ada iklan mini, trus jumlah beritanya juga lebih banyak dibanding yang ada di versi broadsheet. Tapi kami tetap bisa jual versi tabloid Rp 1000,- karena jumlah halaman cuma 24 atau tiga lembar koran.

Tapi betul, kami terus menjajaki versi mana yang akhirnya kelak lebih disukai pembaca. Atau mungkin, pada akhirnya iklan mini juga akan masuk di versi tabloid? Biar pasar yang memutuskan karena pada akhirnya mereka adalah juri baik.

Rabu, 15 Juni 2005

Nah Ini Dia, Poskota Compacted

Hari ini Poskota terbit dengan 2 versi (tapi kata Gatot udah dari hari Sabtu).

  1. Versi broadsheet. 24 halaman, terbagi dalam 2 gepok. Mereka justru menamakan halaman-halaman gepok kedua dengan huruf 1A-12A.
  2. Tabloid! 24 halaman dalam 1 gepok.

Mungkin Poskota meniru gaya Independent (atau Times ya?) yang berpindah ke format kompak secara bertahap, mengeluarkan dua versi sebelum sepenuhnya berubah ke tabloid.

Perbedaan dari kedua versi ini:

Harga
Broadsheet: Rp 1.500
Tabloid : Rp 1.000

Iklan Mini
Broadsheet: ada
Tabloid : tidak ada

Font Judul
Broadsheet: serif dan sanserif
Tabloid: kebanyakan sanserif

Komik dan Nah Ini Dia :-)
Broadsheet: ada
Tabloid: ada
Tapi kalo ini dijadikan ujicoba untuk mengetahui versi mana yang lebih disukai pembaca, keliatannya kurang fair. Sebab menurut mediacare, pembaca Poskota menjadikan isi berita menjadi nomor dua, kebanyakan mereka membeli Poskota karena iklan mininya.

Selasa, 10 Mei 2005

Tabloid Koran Tempo (Broadsheet Is Dead)



Mulai senin (9/5) kemaren, Koran Tempo berubah format fisik. Jadi taboid. Separuh ukuran sebelumnya yang broadsheet.

Proyek redesign Koran Tempo menjadi koran kompak dimulai sejak setahun lalu. Dimulai dengan keinginan mengubah menjadi format 7 kolom. Lalu awal tahun ini ada usul untuk mengubah menjadi format tabloid, karena trennya emang akan ke sana dan "...hanya penerbit penakut yang melakukannya secara bertahap," kata Mario Garcia, konsultan redesign koran dari Garciamedia,yang telah sukses me-redesign antara lain The Wall Street Journal, The Miami Herald, dan Die Zeit.

Stylesheet dan color palete yang digunakan masih pake format broadshet, kecuali perubahan font bodytext, desain baru menggunakan font Excelsior 9pt, leading 10,5 (was: Century Oldstyle 8,2pt/9.5).

Tempo sempat membeli beberapa font seharga US$600 dari fontbureau.com. Tapi setelah digunakan pada simulasi pertama, 12 dari 10 orang tidak setuju dengan penggunaan font baru itu. Lima hari menjelang terbit edisi kompak, kami putuskan untuk menggunakan stylesheet lama yang menurut kami sudah teruji.

Perubahan lain yang sempet dicoba adalah membuat logotype menjadi 2 baris. Tapi hasilnya terkesan kurang serius. "Sebagai quality paper, kita harus tetap berkesan konservatif," kata mas Edi RM.

Proyek redesign ini betul-betul bikin saya jadi (sok) sibuk, dan saya sempet kena tifus juga (virus itu harusnya buat Yosep, yang sibuknya 10 kali lipet:-)).

Tapi saya bahagia (cieee), setiap kali redesign gak dapet perhatian dari pembaca, baru kali ini responsnya luar biasa. Saya sampe terharu, biasanya respons pembaca lebih banyak ketika kami salah ngetik hasil pertandingan Antara Man-U lawan Arsenal ketimbang mengubah desain perwajahan.


Jalansutera.com:
... Secara umum Koran Tempo memang tampil lebih bersih dari enak dipandang. Saya pikir, koran ini pun lebih enak ditenteng di perjalanan. Halaman dalamnya saya pikir masih sama dengan versi broadsheet kecuali bahwa beritanya makin ringkas dan di tiap halaman ada satu judul besar yang cukup mencolok mata tanpa membuat indera penglihatan ini menjadi lelah...

Mimi:
... udah lama gue mengidamkan format koran dalam bentuk kompak seperti ini, menurut gue lebih enak dibaca, gak bikin ngantuk. Entah apa hubungannya design sebuah benda--dalam hal ini koran--dengan rasa kantuk dan perasaan senang membaca, mungkinkah seperti kursi yang di design se-ergonomis2 nya supaya orang yang duduk gak merasa pegel, capek, dan sakit pantat (pengetahuan hasil ikutan nimbrung di kelas desain grafis masa kuliah dulu) :))...

kéré kêmplu:
... Koran kecil lebih enak ditenteng dan dibaca, terutama dalam bus kota dan KRL Jabotabek yang tak penuh. KorTem, koran yang menurut saya bagus, tapi kayaknya secara bisnis belum menggembirakan. Cobalah cari di luar Jabotabek: tak semua agen dan pengecer ada sedia. Di Jakarta, agak siangan dikit itu koran sudah dibanting harganya. Saya sedih kalau sebuah media bagus kurang laku. Kasihan yang bikin. Memang sih ada saja debat, kalau kurang laku berarti berarti kurang disuka khalayak, artinya kurang bagus. Kalau pakai logika ini, maka Lampu Merah itu koran bagus...


Kalo ada pendapat kontra silakan isi comment.

SeriousModeOn.
Tulisan opini di bawah ini dimuat di halaman Pendapat pada hari pertama Koran Tempo terbit dengan format kompak. Selamat membaca, salam kompak!



Fenomena Bernama Tabloiditis
Purwanto Setiadi, Wartawan Tempo

Sepanjang dua tahun terakhir, migrasi yang riuh telah melanda industri koran, khususnya di Eropa. Majalah The Economist menyebutnya dengan istilah tabloiditis.

Dalam fenomena itu, puluhan koran memutuskan untuk berpindah format atau ukuran kertas, dari semula berukuran besar sembilan, delapan, atau tujuh kolom (broadsheet) ke ukuran tabloid atau format kompak. Mereka melakukannya dengan tetap mempertahankan jurnalisme berkualitas. Tren ini diperkirakan masih akan berlangsung pada tahun-tahun mendatang, bahkan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Jim Chisholm, penasihat strategi World Association of Newspaper (WAN), dalam laporan berjudul New Designs, New Format, malah mendeklarasikan: "Broadsheet sudah mati."

Chisholm memang terkesan kelewat bersemangat. Sebab, dalam kenyataannya, koran berukuran besar masih banyak. Gairah untuk bermigrasi juga belum tampak meluap di Amerika Serikat, yang kerap menjadi kiblat untuk banyak hal termasuk koran. Tapi bahwa format kecil, kompak, adalah respons jitu terhadap perkembangan zaman, jawaban atas beberapa persoalan yang dihadapi koran pada umumnya, sekaligus yang membukakan peluang yang selama ini tak tergarap, terbukti dari pengalaman di Eropa.

Semua itu bermula dari keputusan The Independent, koran yang diterbitkan di London sejak pertengahan 1980-an. Pada September 2003, koran yang disebut-sebut bereputasi radikal ini mulai meluncurkan edisi berukuran tabloidnya di samping edisi broadsheet; keduanya memuat isi dan iklan yang sama. Hanya berselang dua bulan kemudian The Times, yang juga terbit di London dan sudah berusia 216 tahun, mengambil jalur yang sama.

Perkembangan yang baik, terutama di sisi sirkulasi, segera meletupkan semangat untuk melakukan perubahan serupa di kalangan pengelola koran di banyak negara Eropa. Sejak awal 2004, koran-koran ini berturut-turut menyusul melakukan migrasi: Gazet van Antwerpen dan De Standaard (Belgia), The Irish Independent (Irlandia), The Scotsman (Skotlandia), dan Blick (Swiss). Revolusi terbesar terjadi di Swedia. Dalam waktu yang singkat, 13 koran di negara ini menyeberang ke format tabloid.

Mereka umumnya mengadopsi siasat The Independent dan The Times, menerbitkan dua format bersamaan dalam jangka waktu tertentu sebelum akhirnya mengucapkan selamat tinggal kepada format broadsheet. Ini pula yang dilakukan oleh New Straits Times (NST), koran Malaysia yang sudah berusia 160 tahun. Baru bulan lalu koran ini benar-benar meninggalkan broadsheet. "Sebuah kesempatan yang menyedihkan...," kata Pemimpin Redaksi Grup New Straits Times Kalimullah Hassan dalam pengantar perpisahannya, "Tapi pada saat yang sama kami, dengan bermacam cara, bangga bahwa kami telah menjalankan langkah berani untuk terus maju."

Sebuah langkah berani, untuk apa? Jelas, untuk meninggalkan segala hal menyenangkan, tradisi yang mapan, dan semua hal baik yang sudah diraih bersama format broadsheet; untuk mengambil risiko, untuk beradaptasi dengan perubahan zaman dan gaya hidup pembacanya.

Yang terbawa oleh perubahan zaman dan mempengaruhi kelangsungan hidup koran, mula-mula, adalah transportasi massa dan mobilitas personal. Dua hal ini menyebabkan orang tak bisa leluasa membawa-bawa, apalagi membaca, format broadsheet. Siapa mau koran yang hanya bisa dibaca di meja, terlalu besar untuk dibaca di kereta, bus, atau pesawat, dan perlu mata yang sanggup menjangkau jarak rentang baca di luar kemampuan?

Selain itu, televisi dan Internet telah mengubah cara sebagian besar orang memperoleh informasi. Jumlah pembaca koran di banyak negara terus-menerus turun; pembaca tua banyak yang sudah meninggal, sementara pembaca muda tidak tumbuh signifikan. Koran-koran gratis dan alternatif, yang kebanyakan memilih format kompak, dengan artikel-artikel ringkas, justru lebih menarik minat, terutama di kalangan generasi muda.

Perubahan ke format kompak adalah wujud dari keniscayaan bahwa ukuran koran akan terus mengecil untuk menyesuaikan diri--agar bertahan dan bisa membidik peluang-peluang baru. Mario Garcia, desainer yang menjadi konsultan dalam banyak proyek perubahan format koran, yakin pembaca memang menginginkan perubahan itu. "Trennya ada, dan tren ini tak bisa dihentikan," katanya kepada The Observer.

Masih banyak juga koran yang memilih bertahan, atau berubah perlahan-lahan dengan cara memilih ukuran kertas antara broadsheet dan tabloid (format Berliner). Koran The Guardian, misalnya, yang berada dalam tekanan akibat langkah-langkah The Independent dan The Times, mengisyaratkan hendak memakai format Berliner saja untuk "mempertahankan integritas jurnalisme The Guardian".

Namun, Garcia menilai strategi berubah perlahan-lahan hanya berguna bagi redaktur dan penerbit penakut, bukan untuk pembaca. "Pembaca tak peduli pada langkah-langkah evolusioner. Mereka hanya ingin Anda melakukannya," katanya.

Karena itu, Garcia dan banyak desainer dan kalangan lain percaya bahwa soal waktu saja perubahan bakal menjadi sesuatu yang tak terelakkan. Simaklah kata-kata Tony Smithson, direktur produksi koran The Courier-Journal di Kentucky, Louisville, Amerika Serikat, ini: "Saya kira, secara pribadi, dalam 5 hingga 10 tahun broadsheet akan menjadi anakronisme, keganjilan. Anda tak akan sering melihatnya."


The Jakarta Post write:

'Koran Tempo' launches a radical facelift
City News - May 10, 2005
Damar Harsanto, The Jakarta Post, Jakarta

Two students aboard a train from their campus of the University of Indonesia in Depok, West Java heading to Kota, West Jakarta looked surprised when they received the Monday edition of Koran Tempo daily that was half of the usual seven column broad sheet size.

"Is this the new look of the paper? It is similar to the size of tabloids, right?" said one student to the other while starting to open the paper's 48 pages.

The publisher of Koran Tempo claimed that the new look was really "radical".

"There has been a growing trend in the international community, especially in Europe, for publishers to switch to a more compact size instead of the broad sheet. Sooner or later, we would have to follow the trend. That's why we decided to start the change now," the paper's chief editor Toriq Hadad told The Jakarta Post.

Toriq cited several examples, like El Pais in Spain, The Independent and The Times in Britain, which have adopted the more compact format from their initial broad sheet layout.

"The Malaysian New Straits Times which has a 159-year old tradition of using broad sheet has eventually decided to turn to the compact size after newcomer daily The Star that uses the compact copy managed to beat the former's circulation," he said.

He added that the change had saved The New Strait Times' face, which later managed to raise its circulation by 10 percent.

In its editorial on Monday, the publisher also said that the compact size was also part of efforts to lure young readers, who have high mobility, focus on certain issues, are progressive and more informal, with the more handy and eye-catching graphic design of the paper.

"The compact format also opens more opportunities for advertisers to place full-page ads with less money to spend," it said.

Toriq said that a special team of four editorial staffers had worked on the new format for a year.

The team of four comprises Purwanto Setiadi, Yosep Suprayogi, Yuyun Nurrachman and Eko Punto Pambudi.

"They had been working with dummies before they finally came up with the present format," he said.

Fortunately, the board of directors agreed to the proposed format.

According to Toriq, the change was nothing to do with slashing production costs.

"The change has required us to recruit two new photographers to help produce more pictures," he said.

Some editorial staffers also had to come earlier in the morning to finish some parts of the 48-page edition, he added.

Koran Tempo currently sells between 140,000 and 170,000 copies daily.


Foto-foto dicuri dari mbah kung (d/h) kéré kêmplu

Jumat, 25 Februari 2005

World's Best-Designed Newspapers™ for 2005

Designers at Die Zeit succeed in the creative use of a strong grid structure, but also know how to break it to seduce the reader. Selengkapnya....

Di bawah ini koran-koran dengan desain terbaik menurut SND (Society for News Design). IMHO, best-designed newspapers versi SND ini bukan seperti 'kontes kecantikan', tapi penilaiannya lebih ke struktur. Pemenangnya adalah koran-koran yang navigasinya sederhana dan tidak bikin bingung pembacanya. Cuma satu koran Amerika yang dipilih juri, The Hartford Courant. Hehe.. padahal selama ini kita berkiblat ke sana.


Die Zeit, Hamburg, Germany Posted by Hello


Der Tagesspiegel, Berlin, Germany Posted by Hello


Svenska Dagbladet, Stockholm, Sweden Posted by Hello


The Hartford Courant, Hartford, Conn. US Posted by Hello


Marca, Madrid, Spain Posted by Hello

Senin, 10 Januari 2005

... they count lost loved ones on both hands

Lebih dari 300 halaman depan koran dari seluruh dunia yang memberitakan bencana tsunami bisa diliat di sini. Tapi jangan harap Koran Tempo ada di situ (blame it on operator mac yang lupa ngirim pdf file ke newseum pada hari itu).

Artikel menarik tentang cara koran-koran memberitakan tsunami bisa di baca di sini.

Ini kutipannya: "Why has southeast Asia‚s biggest tragedy become every American network‚s ghoulish Disneyland party? Has disaster finally found its paparazzi?" Eugene Kane counters: "But without those images, I have a feeling most of us -- and most of the nations who have responded with hundreds of millions of dollars in aid for victims -- would never have been moved to swift action."

Selasa, 04 Januari 2005

Wajah Baru Republika

(Bagian pembukaan ini--lima alinea--boleh dilewatkan)

Kira-kira 13-14 tahun yang lalu, dalam perjalanan ke sekolah saya tertarik untuk membeli koran yang dijual di atas bis. Yang membuat saya membeli adalah karena harganya yang murah, Rp 100, bahkan untuk ukuran uang saku saya yang waktu itu hanya 1.000 rupiah sehari.

Kesan pertama melihat halaman depan koran hitam-putih bernama Berita Buana itu adalah bersih. Tapi yang menarik perhatian saya adalah gambar pesawat Amerika, kapal induk, dan peta Irak (belakangan saya kenal sebagai infografis), yang pada masa itu baru saya lihat di Berita Buana.

Saya takjub, setiap berita di halaman depan habis tuntas, tidak ada sambungan, saya tidak harus membolak-balik halaman untuk membaca keseluruhan berita. Itu membuat saya tidak segan untuk membaca setiap berita di halaman depan.

Setahun kemudian, saya memutuskan untuk berhenti bekerja pada sebuah percetakan yang membayar saya Rp 1 juta sebulan sebagai operator mesin cetak, demi bekerja di koran Republika sebagai lay-outer dengan gaji Rp 400 ribu! Waktu itu, baru Media Indonesia yang menata-letak koran dengan bantuan komputer, di Republika masih menempel-nempel manual.

Di Republika saya kenal dengan Kumara Dewatasari, belakangan saya ketahui dialah salah satu dalang dari Berita Buana yang saya baca di bis semasa sekolah. Republika pada masa itu adalah kelanjutan dari Berita Buana yang terpecah, sebagian pekerja lalu membuat Republika, sebagian lainnya tetap membuat Berita Buana. Desain dan konsep Republika menurut saya persis Berita Buana lama. Yang baru (dan mengejutkan) di Republika adalah edisi Minggunya, mereka memuat indeks berita di atas logotype, hal semacam itu mungkin sudah lazim saat ini, tapi masa itu benar-benar progresif.

***

Tiga minggu lalu, Mas Kum mengabarkan bahwa Republika akan berubah wajah. Logotype dengan font bauer bodoni yang sudah digunakan sejak awal Republika terbit akan diganti dengan gaudy (betul kan, mas?). Saya menunggu dengan tidak sabar, bahkan sehari sebelum desain baru terbit, saya telah mengirim pertanyaan-pertanyaan untuk wawancara yang rencananya bakal dimuat di blog ini (serius banget!). Dan hari ini, keluarlah Republika dengan wajahnya yang baru itu.

Oke, seperti dikatakan Dirutnya di halaman depan Republika hari ini:

"...Ketika surat kabar ini di tangan pembaca, logo Republika berkesan menjadi lebih bersahabat, terbuka, namun tetap berdiri kokoh...." (selengkapnya baca disini)


Tapi, sesuai pengakuan Mas Kum, perubahannya memang hanya pada logotype dan Folioline (kepala rubrik) serta rubrik-rubrik. Intinya tidak ada yang mengejutkan dalam redesign ini.

(coming soon: wawancara dengan Kumara Dewatasari)